PEMBENTUKAN OMBUDSMAN DAERAH DIPERTANYAKAN TIMUS
16-02-2009 /
LAIN-LAIN
Tim Perumus (Timus) Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik tanyakan beberapa ayat tambahan pada Pasal 46 mengenai pembentukan ombudsman daerah, pertanyaan ini diajukan mengingat beberapa daerah sudah ada yang memiliki ombudsman.
Hal itu ditanyakan anggota Timus Eddy Mihati (F-PDIP) saat melanjutkan pembahasan RUU Pelayanan Publik dengan Deputi Bidang Pelayanan Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan HAM, Senin (16/2) yang dipimpin Ketua Pansus Sayuti Asyathri (F-PAN).
Eddy menambahkan, menurut UU Ombudsman keberadaan ombudsman harus jelas dan diatur secara hirarkis sampai ke daerah. Hanya masalahnya ada tujuh daerah yang sudah memiliki ombudsman baik di provinsi maupun di kabupaten.
Terhadap tujuh lembaga yang sudah ada Eddy menanyakan bagaimana pengaturannya. Dari hasil pembahasan Timus minggu lalu, Ombudsman yang sudah terbentuk ini apakah dicantolkan langsung kepada UU Ombudsman yang mengatakan bahwa ombudsman itu hirarkis.
Persoalan lain, apakah tugas dan kewajiban maupun wewenang ombudsman di daerah yang sudah terbentuk ini bisa match dengan ombudsman daerah yang akan dibentuk oleh UU Ombudsman berdasarkan kehirarkian tadi. “Dua hal tersebut yang menjadi persoalan,†katanya.
Sementara itu, Andi Yuliani Paris mengatakan, adanya hirarkis, berarti akan berdampak adanya implikasi yang harus dilaksanakan. Dan Pasal-pasal dalam RUU Pelayanan Publik harus dapat menjabarkan secara jelas.
Pada Pasal 46 mengenai Penyelesaian Pengaduan oleh Ombudsman ada beberapa ayat tambahan yang diusulkan yaitu, Ombudsman wajib membentuk perwakilan di daerah yang bersifat hirarkis untuk mendukung tugas dan fungsi ombudsman dalam kegiatan pelayanan publik.
Selain itu, tambahan pada ayat 4 dalam Pasal 46 adalah ombudsman wajib melakukan mediasi dan konsiliasi dalam menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak. Dalam melaksanakan mediasi dan konsiliasi, ombudsman dapat membentuk tim mediasi dan konsiliasi yang bersifat adhoc dengan anggota terdiri dari para pihak yang diperlukan.
Sedang tambahan pada ayat 5 adalah, daerah-daerah dapat membentuk lembaga pengawasan pelayanan publik untuk mendukung kegiatan pengawasan pelayanan publik di daerah yang tugas dan tanggung jawab dan mekanisme kerjanya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Secara prinsip, kata Sayuti, rumusan Pasal 46 ini dapat disetujui Timus, namun dengan catatan Pemerintah diminta mengharmonisasikan dengan UU terkait.
Terkait dengan pembentukan ombudsman di daerah, Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Depkum HAM mengatakan anggotanya ataupun perwakilannya di daerah, tentu dari masyarakat daerah tersebut.
Hal ini bisa disikapi di Pasal 5 Bab 3 mengenai tempat kedudukan Ombudsman, yang di ayat 2 mengatakan ombudsman dapat mendirikan perwakilan ombudsman di provinsi atau kabupaten/kota dan ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan dan tata kerja perwakilan ombudsman di daerah diatur dengan PP.
“Jadi di sini nanti akan ada PP yang akan disusun Depkum HAM, Menpan, Ombudsman, minimal tiga istitusi itu yang terlibat,†ujarnya. Adanya keinginan yang berkembang agar ombudsman bersinergi, tentunya juga akan diatur dalam PP.
Rapat Timus juga mengusulkan tambahan Pasal 53A dan 53B tentang sanksi dan denda. Terhadap perubahan pasal tersebut disetujui dengan catatan pengaturan tentang sanksi-sanksi dibahas lebih lanjut dalam Tim Sinkronisasi (Timsin). (tt)